Minggu, 14 Desember 2014

Perempuan dalam Belenggu Perbudakan

Wanita dalam belenggu kemiskinan. Ist


Sebagian yang beruntung mungkin memiliki majikan berupa “manusia”, tapi banyak dari mereka dimiliki oleh makhluk jelmaan zaman perbudakan. Jangankan gaji yang pantas, bisa menerima gaji saja sudah syukur.



Kasus penganiayaan terhadap pembantu rumahtangga (PRT) yang mengakibatkan hilangnya nyawa kini sedang santer jadi pemberitaan media massa. Salahsatu kasus yang lagi hangat-hangatnya yaitu kisah keluarga penyalur jasa tenaga kerja, Syamsul Anwar, yang menganiaya PRTnya hingga tewas.

Setelah ditetapkan menjadi tersangka bersama kelima anggota keluarga lainnya atas tuduhan penyiksaan dan pembunuhan terhadap beberapa orang PRT di rumahnya di Jalan Beo Medan, saat ini polosi masih mendalami kasus tersebut.

Kabarnya, para korban kebringasan keluarga itu dikubur di sekitar rumah tersangka. Kemudian, ada juga yang dibuang ke jurang dan ke sungai. Para tersangka kini sedang bersiap masuk kursi pesakitan.

Kasus ini bukan terjadi di Arab Saudi atau Malaysia, tapi di Medan, di Indonesia tanah air Beta. Siapa yang jadi korban? Perempuan.

Dan ini hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus penganiayaan PRT perempuan di tanah air. Tidakkah kita bertanya ada apa dengan kaum perempuan kita?

Pernah sekali, penulis berkesempatan berbincang dengan seorang aktivis wanita yang bergerak di bidang kesejahteraan perempuan, Suhartini namanya. Menurut dia, penyebabnya boleh jadi karena kultur di negara kita.

Dia bilang, masih banyak orang kita yang memandang PRT sebagai budak yang bisa diperlakukan seenaknya alias tidak manusiawi. Jika salah sedikit, bogem mentah dengan ringannya dilayangkan. Atau setidaknya berupa sundutan rokok di wajah.

”Jangan salah, masih banyak orang yang pikirannya mampet seperti itu,” kata dia.

Umumnya, yang menjadi korban adalah wanita. Entah itu diperkosa, disiksa bahkan ada yang tidak digaji. Memangnya mereka itu binatang? Kok sampai hati memperlakukan mereka seperti itu.

Sebagai kaum yang dikenal lemah, ditambah lagi minim pendidikan, memang sangat sulit bertahan hidup sebagai perempuan di kota besar seperti Kota Medan ini. Bila tak sudi jadi wanita tuna susila, PRT adalah pilihan tepat. Mungkin itu yang ada dalam benak mereka.

Lagi-lagi, faktor ekonomi yang jadi biang keladinya. Demi memenuhi kebutuhan perut yang sejengkal, perkerjaan apapun, asalkan halal katanya, dilakukan. Yang jadi buruh cuci lah, tukang bersih-bersih lah, sampai berakhir menjadi pelayan nafsu bejat sang majikan, atau kalau lagi sial, dihanyutkan ke sungai. Masyaallah...

PRT korban penyiksaan majikan di Medan. Ist


Perbudakan

Terkuaknya kasus penganiayaan oleh keluarga Syamsul ini, serasa memberi tamparan bagi kita. Bahwa ada banyak wanita diluar sana yang terjebak kemiskinan dan kebodohan, sehingga nyawa pun menjadi taruhannya.

Yang mengherankan, sekian banyak kasus kekerasan terhadap PRT, masih saja ada orang yang mau melakoni pekerjaan itu. Bahkan, tak jarang anak gadis seorang PRT ikut-ikutan menjadi PRT juga.

Ibarat diwariskan, profesi PRT pun seringkali menurun kepada anak-anaknya. Bahkan dalam beberapa kasus, dalam sebuah keluarga memang turun temurun melakoni pekerjaan sebagai pembantu.

Mereka juga tidak menyoal gaji. Yang penting bisa makan. Rendahnya syarat memperkerjakan PRT membuat para majikan memandang rendah kaum ini. Ibarat budak malah, bukan pekerja.

Pada dasarnya, pembantu berarti yang membantu, bukan orang yang melakukan pekerjaan utama. Tapi sekarang ini pembantu ibarat wanita robot bertangan delapan yang bisa mengerjakan apa saja dengan bayaran sangat murah. Mereka membersihkan rumah, mereka mencuci baju, memasak, belanja, mengurus anak, hingga mengurus suami.

Lebih dari itu, majikan yang memiliki pembantu di rumahnya seringkali kebablasan dengan menyuruh ini itu, menutup pintu, mengambilkan remote tv, mengambilkan sepatu, mengantar piring, bahkan disuruh bertingkah yang aneh untuk hiburan. Tidak manusiawi sama sekali.

Jangan pikir mereka dibayar pantas untuk itu. Sebagian yang beruntung mungkin memiliki majikan berupa “manusia”, tapi banyak dari mereka dimiliki oleh makhluk jelmaan zaman perbudakan. Jangankan gaji yang pantas, bisa menerima gaji saja sudah syukur.

Bahkan beberapa PRT yang pernah diwawancara mengaku hanya mendapat gaji Rp300 ribu per bulan dengan jam kerja 12 jam per hari. Kasus lain, dengan gaji Rp750 ribu mereka bekerja setiap hari mengerjakan pekerjaan rumahtangga mulai dari bersih-bersih, menjaga anak dan memasak.


The Power of Education

Bukannya kita mau bilang perkerjaan itu hina atau bagaimana, hanya saja, tidakkah mereka mau move on dari buruh menjadi pekerja mandiri? Zaman sekarang kan banyak pelatihan-pelatihan yang digalakkan baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) tertentu demi meningkatkan kesejahteraan kaum marginal.

Demikian juga disampaikan Suhartini kepada penulis, salahsatu langkah yang dapat ditempuh agar wanita-wanita kita yang berpendidikan rendah bisa bekerja secara mandiri yaitu melalui penyuluhan dan pelatihan keterampilan yang nantinya dapat mereka andalkan sebagai mata pencarian.

Selain itu, ilmu keterampilan atau kreativitas, apapun itu bentuknya, jika mampu diaplikasikan dengan baik maka bisa menjadi sumber pendapatan.

Siapa sangka industri kreatif tidak membutuhkan mereka? Mereka bisa bergabung membentuk suatu kelompok atau komunitas ibu-ibu pengrajin benda-benda pajangan yang terbuat dari daur ulang limbah. Yah, menjadi semacam usaha kecil menengah (UKM).

Dan kabar gembiranya, pemerintah punya segudang program yang memberikan bantuan pendanaan bagi para pelaku UKM. Jadi, jangan terpaku pada nasib. Sudahlah perempuan, tak sekolah pula, ya jadi pembantu lah. Jangan.

Inilah yang seringkali disangkal oleh para perempuan di tanah air. Bahwa pendidikan itu ribet, pendidikan itu membuang waktu, pendidikan itu tidak penting.

Penyangkalan terhadap the power of education ini menyebabkan leher para wanita tak pernah terlepas dari belenggu perbudakan. Mereka memilih mendekam dalam keterbatasan pengetahuan dan keterampilan seolah legowo menerima garis nasib dari Sang Pencipta.

Keterpurukan dan perlakuan semena-mena tidak akan terjadi jika Anda melek hukum, melek informasi, apa guna polisi, apa guna pengacara, apa guna LSM pendamping, apa guna anggota dewan, apa guna wartawan.

Sudah saatnya para wanita move on dari keadaan serba tergencet ini. Semakin lama persaingan di dunia kerja semakin ketat.

Ditengah kondisi ekonomi lemah dan tak punya pendidikan tinggi, meningkatkan kreativitas bisa menjadi jalan demi terciptanya hidup mandiri. Tanpa harus bertaruh nyawa menjadi PRT yang semakin hari semakin banyak yang mati. Ada banyak jalan untuk lepas dari belenggu ini. Ayo perempuan, bangkitlah! ( )