Minggu, 25 Januari 2015

Bakal Bernasib Sama dengan Gundaling


"Tutup Jalur Pendakian Sibayak"


Gunung Sibayak . Foto | Dokumen Galunggung Team


Gunung Sibayak merupakan salahsatu situs wisata alam andalan Kota Berastagi saat ini. Belum normalnya status Gunung Sinabung pascaerupsi beberapa waktu lalu membuat ratusan bahkan ribuan orang pengunjung beralih ke gunung setinggi 2,212 meter dari permukan laut tersebut.

Sekarang ini berbagai kalangan sudah menginjakkan kakinya ke gunung tersebut mulai dari pendaki, komunitas-komunitas pemuda, pasangan muda-mudi, hingga keluarga.

Memang dari segi jalur pendakian dan biaya, Gunung Sibayak merupakan pilihan yang pas untuk menghabiskan liburan akhir minggu bahkan dengan anak-anak sekalipun.

Alhasil, ribuan orang akan terlihat memenuhi lereng hingga puncaknya setiap akhir pekan. Dan, mereka akan meninggalkan gunung sampah pula. Pasalnya, orang-orang yang naik ke atas tidak semua memiliki kesadaran bahwa alam tetap harus dijaga.

Bahkan para relawan yang melakukan gerakan mengutip sampah di awal tahun silam, bukan hanya menemukan sampah bungkusan makanan atau minuman, melainkan (maaf) hajat manusia.

Sampah yang dikumpulkan dari puncak Gunung Sibayak sehabis perayaan Tahun Baru 2015. Foto | Dokumen Galunggung Team
Dalam aksi bersih yang dimotori Komunitas Akar ini, tak kurang 500 kg sampah berhasil dikumpulkan dari puncaknya.

Hal ini tentu membuat kita miris dan sedih. Sebagai aktivis yang dulu biasa mendaki gunung yang dibanggakan itu, pasti tidak terima dengan kondisi Gunung Sibayak saat ini.

Belum lagi warung-warung bertenda biru yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya. Tidak adanya perhatian dari pemerintah setempat akan membuat Gunung Sibayak bernasib sama dengan objek wisata lainnya seperti Tahura, Sibolangit dan Air Terjun Dua Warna, atau lebih mirip Bukit Gundaling. 

Perlu diingat, Gunung Sibayak adalah wisata alam yang perlu diperhatikan kelestariannya. Oleh karena itu perlu ada penyamaan persepsi di kalangan kelompok pencinta alam mengenai konservasi lingkungan hidup. Sehingga kelompok pencinta alam bukan hanya tahu mendaki gunung, tapi juga harus ikut melestarikan alam.

“Para kelompok pencinta alam ini perlu diperluas wawasannya, sehingga tanggap terhadap isu-isu lingkungan seperti ini. Perlu disamakan persepsi menenai konservasi yang sebenarnya itu apa,” ujar aktivis Komunitas Akar, Indra Kurnia saat berbincang dengan Harian Orbit di Warung Netral USU kemarin.

Menurut Indra, langkah-langkah strategis sangat perlu dilakukan sesegera mungkin agar Gunung Sibayak tak berubah menjadi seperti Gundaling, yang dipenuhi tenda biru, kotoran kuda, sampah dan pungutan liar.

Sampah plastik yang banyak terdampar di hampir semua areal camping Gunung Sibayak. Foto | Dokumen Galunggung Team
Langkah strategis yang dimaksud adalah ketegasan pemerintah terhadap pengelola situs alam tersebut.

Gampangnya, pembatasan jumlah pendaki untuk mengurangi keramaian di atas.  Pendaftaran peserta yang akan mendaki juga diperlukan selain untuk keamanan juga untuk mengontrol jumlah para pengunjung. Namun hal itu akan sulit terwujud tanpa adanya kerjasama dari pemerintah.

Apapun ceritanya, jika pemerintah sudah mengeluarkan aturan, para pendaki ataupun para pedagang mau tak mau harus patuh. Dengan proses pelestarian Gunung Sibayak akan lebih mudah.

Selain itu perlu diwajibkan untuk membawa turun kembali sampah yang dibawa ke gunung. Sampah dapat dikumpulkan di tempat penampungan sementara untuk selanjutnya dibuang ke TPS terdekat.

Ekstrimnya, tutup jalur mendakian Sibayak untuk beberapa waktu demi membersihkan lokasi dari sampah-sampah tersebut. Setelah itu berlakukan musim pendakian, bahwa pendakian hanya bisa pada hari-hari tertentu saja.

Hal ini yang perlu diperhatikan Pemerintah Kabupaten Karo selaku pengelola Gunung Sibayak. Jika Sibayak tetap asri, pengunjung akan terus berdatangan termasuk dari luar negeri. Pendapatan daerah pun otomatis akan bertambah, tapi jika ini dibiarkan begitu saja, Gunung Sibayak akan berubah seperti tempat wisata lainnya di Karo yang terkesan tak diurus.

PAD memang penting, tapi melestarikan alam jauh lebih penting. Hal ini yang seharusnya menjadi pembangun semangat pemerintah, masyarakat setempat dan semua pengunjung Gunung Sibayak.

Penertiban bukan berarti harus mematikan potensi wisata dan rezeki masyarakat setempat. Tetapi penataan untuk menggali potensi lebih objek wisata itu sediri jika saja pemerintah bisa mencermatinya. ()

(Tulisan ini telah dimuat di Rubrik Suara Kampus Harian Orbit edisi Rabu 21 Januari 2015)


Minggu, 18 Januari 2015

Rimba Kepentingan di Periklanan Kota Medan




Semrawut iklan. Foto|Ist
Iklan adalah salahsatu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Medan yang cukup menjanjikan. Wajar, kalau Ibukota Provinsi Sumatera Utara ini memelihara periklanan yang semakin tumbuh subur di jalanan.

Dari satu sisi tidaklah salah usaha meningkatkan pemasukan dari sektor iklan. Namun dibalik itu banyak hal-hal yang mengundang komentar bahkan kecaman dari berbagai pihak.

Mulai dari letak yang sembarangan dan semrawut, hingga iklan-iklan gelap yang menjadi entah bagaimana jadi milik pribadi.

Iklan demi iklan semakin gencar disorot oleh berbagai kalangan masyarakat. Seolah tak punya landasan aturan, iklan-iklan tersebut terpajang manis mempertontonkan hal-hal yang tak mengindahkan nilai etika dan estetika.

Iklan dengan model-model berpakaian minim yang kini disenter legislator, tokoh agama, hingga aktivis mahasiswa ini menunjukkan lemahnya pengawasan dinas terkait hingga tampilan penuh protes itu dapat lolos dan terbit ke tengah masyarakat.

Dengan sengaja atau tidak, penerbit iklan telah ikut meracuni pikiran masyarakat termasuk anak-anak dengan gambar-gambar yang tidak sopan itu.

Dampaknya? Anak-anak bisa memandang berpakaian minim hingga bagian pribadi tubuh hampir kelihatan itu bisa dilakukan di mana saja, termasuk tempat terbuka.

Apa jadinya anak-anak yang jadi menganggap berpakaian seperti itu boleh-boleh saja. Lalu untuk apa video-video semi porno dilarang beredar, jika papan iklan menampilkan hal serupa.

Medan memang metropolis, tapi masih beradat timur (saya harap begitu). That's why, itu digolongkan dalam ketidakpantasan. Itulah sebabnya kenapa di koran gambar belahan dada itu disensor, gambar paha atas disensor. Pemangku kepentingan seharusnya paham rambu-rambu tersebut, sehingga tak tersesat dalam mengejar target PAD.

Bicara solusi, bukan hanya penumbangan. Penumbangan papan iklan tersebut hanya merupakan solusi jangka pendek yang tidak efektif bahkan untuk penertiban.

Aturan dan syarat penerbitan iklan juga seharusnya diperketat. Aturan itu nantinya bisa menjadi dasar iklan seperti apa yang boleh terbit, di mana posisinya, aturan konten dan estetikanya dapat ditentukan.

Sehingga Kota Medan tidak menjadi hutan iklan semrawut dan tidak teratur.

"Perlu ada aturan yang jelas mengenai syarat-syarat iklan layak sebelum izinnya diterbitkan," kata Ketua Komisi D DPRD Medan, Ahmad Arif ketika menggelar rapat dengan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) beberapa waktu lalu.

Data dari P3I sendiri, tahun 2010-2011 ada 891 iklan yang tersebar di seluruh Kota Medan. Dan diperkirakan tahun 2014 sudah meningkat menjadi dua kali lipat.

Mengenai izin, dalam Baliho atau Bilboard harusnya diterakan nomor izin, milik siapa, dan tanggal berakhir izinnya sehingga ada transparansi kepada publik di sektor iklan tersebut.

Hal ini juga akan memangkas iklan-iklan hantu yang tak berizin.

Perlu kerja keras memang untuk membenahi sektor periklanan di Kota Medan. Mengingat perizinan iklan melibatkan tiga dinas, yaitu Dinas Pertamanan, Dinas TRTB dan Dinas Pendapatan Daerah.

Tapi mari mengesampingkan luka-luka apa yang ada dalam tubuh dinas-dinas tersebut. Let's think for future.

Perizinan satu pintu merupakan solusi efektif untuk menertibkan periklanan Medan. So, mereka para dinas tak saling menyalahkan dan tak saling lempar bola.


Dalam pengurusan izin haruslah ada kriteria kelayakan dan rambu-rambu iklan. Lagi-lagi ketegasan petugas diperlukan agak sedikit lebih banyak sehingga iklan-iklan yang terpampang tersebut inspiratif, enak dipandang dan tidak menjadi sumber cela bagi Kota Medan. ()

Jumat, 16 Januari 2015

Pencinta Alam, Kaum Idealis Palsu



Alam merupakan anugerah yang luar biasa dari Tuhan, dan tanpa bertanya lagi memang sudah kewajiban kita untuk menjaganya. Alam adalah penyumbang terbesar dalam kelangsungan hidup manusia sedang manusia adalah penyumbang terbesar dalam kerusakannya. Manusia modern sepertinya kini tidak ingin lagi pusing memikirkan solusi untuk itu.

Sifat konsumerisme manusia yang tidak terbatas membuat rasa tanggung jawab untuk memperbaiki kerusakan itu hilang begitu saja bahkan dianggap tidak pernah ada. Padahal telah sekian banyak lembaga-lembaga yang bersuara lewat berbagai media untuk menjeritkan pelestarian lingkungan, namun telinga-telinga itu seolah-olah tidak mendengar apa-apa.

Fenomena dan problematika pelestarian alam pun menjadi kian rumit setelah munculnya lembaga-lembaga mengatasnamakan penggiat alam yang ternyata berprinsip lain. Prinsip lain itu tak lain adalah proyek dan uang. Anda mungkin pernah mendengar atau melihat di media kegiatan-kegiatan berbau pelestarian alam seperti  penanaman sekian ribu pohon dan sejenisnya, dana sudah mengucur untuk itu, nama sudah terpampang di media. Lalu apa selanjutnya? Tidak ada!

 Tidak ada gunanya penanaman besar-besaran jika tidak ada follow up untuk selanjutnya. Siapa yang peduli pohon yang sekian ribu itu hidup atau mati? Tidak ada, yang penting proyek sudah jalan, dana sudah cair, TITIK. Itulah mind-set yang ada dibenak manusia sekarang ini. Tidak heran jika LSM sekarang ini sudah di-cap menjadi bandit proyek bertopeng idealisme.

Tidak ada bedanya dengan kelompok pencinta alam yang sudah menjamur dikalangan kampus maupun masyarakat. Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) adalah Kelompok pencinta alam yang merupakan bagian kecil dari kelompok penggiat alam selain LSM.

Kalau LSM mungkin sudah memiliki badan hukum yang resmi sebagai lembaga independen, maka pencinta alam adalah organisasi yang masih dipayungi oleh universitas atau fakultas masing-masing.

Mapala itu berisikan mahasiswa-mahasiswa yang memiliki kesamaan hobi dan kesamaan tujuan untuk melestarikan alam dan lingkungan. Mapala seharusnya adalah sosok mahasiswa yang bertujuan murni menyelamatkan lingkungan dari kerusakan-kerusakan yang ada, yang tentunya disertai dengan hobi bertualang dan berkegiatan di alam bebas. Namun seiring berjalannya waktu tujuan pelestarian itu mulai memudar.

Sekarang ini Mapala lebih kepada orang yang suka naik gunung, arung jeram, manjat-manjat dan lain-lain. Lalu kemana tujuan awal pencinta alam tersebut? Bahkan kawan-kawan pencinta alam telah banyak dicap menjadi sosok yang gampang nego, bandit proposal, dan idealis palsu. Kenapa? Karena mereka telah mendisfungsikan tujuan utama dari pencinta alam tersebut.

Mind-setnya juga sudah dapat ditebak. Proyek dan Uang. Pernahkan terpikir untuk melaksanakan kegiatan pelestarian lingkungan itu tanpa memikirkan untung?

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa untuk melaksanakan sebuah kegiatan pasti dibutuhkan dana cukup besar, dari itu memang wajar, apalagi kalangan mahasiswa untuk melempar proposal kesana-kemari untuk mengumpulkan dana. 

Tapi jika sudah terpikir untuk mendapat untung yang nantinya bisa dibagi-bagi ke kawan-kawan, ataupun ada maksud dan tujuan lain seperti hanya supaya dana itu cair dari pemerintah atau pemodal atau dengan kata lain bermain proyek. Sepertinya itu sudah tidak idealis lagi. Jadi dimanakah letak idealisme itu sebenarnya? Bahkan di kalangan mahasiswa yang seharusnya sangat idealis sekalipun ternyata proyek dan uang telah lebih mendominasi pola pikir.

Saya pikir orang yang merelakan tanahnya sekian hektar untuk ditanami bakau sekitar pantai itulah yang idealis. Orang yang rela berhenti membuka lahan dan membiarkan tanahnya ditanami pohon-pohon penyuplai oksigen, itulah yang idealis.

Orang yang bisa tidak merubah kebun rambutan menjadi kebun sawit, itulah yang idealis. Hanya segelintir dan langka. Mereka tidak perlu nama, bahkan tidak terlalu menggilai keuntungan. Itulah yang disebut idealis.

Jika sudah begitu kita akan bertanya, jadi dimanakah peran Diklatsar tiap Kelompok Pencinta Alam (KPA) itu? Bukankah pendidikan dan latihan dasar itu seharusnya mengajarkan apa tujuan mereka mengikuti diklatsar, dan mengapa. Apakah diklatsar hanya diisi dengan materi-materi kepecinta-alaman tanpa mengikutsertakan dan memperdalam prinsip konservasi?

Bahkan ada selentingan terdengar bahwa konservasi adalah materi yang tidak penting dan sekedar coa-coa. Apakah ternyata pencinta alam itu tidak berlandaskan prinsip konservasi lagi? Kenapa materi yang begitu fundamental ternyata dianggap hanya bunga-bunga?

Ini salah satu penyebab lahirnya generasi-generasi hedon yang tidak terarah itu. Mereka lahir tanpa doktrin jiwa pencinta alam tersebut. Mungkin hanya jiwa petualang dan solidaritas yang terpatri dalam hati mereka, sementara prinsip pencinta dan pejuang alam yang sebenarnya tidak mereka kenal.

Jadi apa yang ingin saya sampaikan kepada KPA adalah stop meng-kamuflase diklatsar menjadi mesin pencetak generasi hedon dengan mengesampingkan prinsip konservasi tersebut. Dunia tidak butuh beribu petualang yang bisa mendaki ratusan gunung dalam satu bulan.

Dunia tidak butuh orang-orang yang lihai berbicara di depan umum tentang lingkungan berbalut maksud-maksud yang hina. Dunia hanya butuh segelintir orang yang rela berjuang melestarikan alam dengan berbagai cara. Dunia butuh orang-orang yang bisa sebentar saja berhenti memikirkan keuntungan pribadi dan kelompok demi memperjuangkan kehidupan badak Sumatera atau Owa Jawa!


Dunia butuh orang-orang yang rela sedikit saja menyisihkan lahannya untuk dijadikan bank demplot pohon. Dunia hanya butuh orang-orang yang berani maju dengan segala keterbatasan untuk memperbaiki kerusakan alam dari hal-hal yang kecil. Dunia butuh pencinta alam yang bukan pencetak generasi hedon.



Disadur dari blog lama karenchiputih.blogspot.com (20 Januari 2013)

Rabu, 14 Januari 2015

Bang, Tukar Ikan Mas Koki!

Anak-anak SD yang sedang berebut membeli kupon ikan di depan sekolah. Foto|Ang

Ikan hias memang menarik. Selain warnanya yang memikat, bentuknya yang unikpun membuat orang-orang gemas dan ingin memeliharanya. Terlebih anak-anak.

Hal itu dimanfaatkan penjual ikan untuk mengadu peruntungan dengan menjual berbagai ikan hias di depan sebuah Sekolah Dasar (SD) di Jalan Setia Budi Titi Bobrok, Medan.

"Bang, gopek Bang, gopek," teriak salahseorang anak sambil menjulur-julurkan uang lima ratus rupiah kepada penjual ikan yang duduk di sepedamotor gerobaknya.

Sang penjual pun menyodorkan sebuah toples berisi kupon-kupon. Ibarat lotere, anak itu mengambil satu kupon seharga uang yang diserahkannya. Dengan semangat ia membuka gulungan kupon tersebut.

"Yaaaah, lele!" teriaknya kecewa. Si anak pun mendapat seekor anak lele berukuran 5 cm dalam plastik kecil berisi air.

"Aku dapat pelet Bang, tukar lele," kata anak perempuan.

Sang penjual pun terlihat sibuk melayani para pelanggan-pelanggan kecilnya. Pria muda itu tampaknya sudah terbiasa menghadapi anak-anak. Ia tampak kalem melayani permintaan anak-anak yang bermacam-macam.

"Mau beli ikan kak?" katanya yang saya jawab dengan senyuman saja. Bukan, tak mau merogoh kocek barang gopek atau seceng, tapi saya asyik melihat tingkah anak-anak yang sangat bersemangat itu.

Bagaimana tidak, ikan-ikan hias itu begitu menggoda anak-anak sehingga mereka menggandrungi gerobak si penjual hingga jam istirahat berakhir. Bahkan beberapa orang saja yang menyinggahi tempat penjual mie atau jajanan. Sepertinya mereka menaruhkan semua uang sakunya untuk ikan-ikan yang menggellantung di gerobak itu.

Bagi mereka yang beruntung, kupon bisa berisi nama ikan mas koki, bagi yang tidak, hanya mendapat lele atau pelet. Namun saya bisa pastikan di puluhan kupon itu hanya 1 atau 2 kupon saja yang berisi ikan mas koki.Trik jualan!

Begitupun, ada opsi barter di sana. Pelet bisa ditukar dengan lele, begitu juga sebaliknya. Dan masih ada opsi-opsi barter yang lain.

"Bang, tukar ikan mas koki!" teriak seorang anak menyerahkan 4 bungkus anak lele plus dua lembar kupon miliknya.

Secara hitung-hitungan, untuk membeli mas koki dengan sistem barter tersebut membutuhkan uang Rp3.000 rupiah sebab harus ada 6 lele, atau 6 kupon.

Mengherankan, anak-anak itu tak mau langsung membeli mas koki dengan harga tersebut, mereka lebih memilih gamble. Mempertaruhkan lima ratus demi lima ratus milik mereka untuk kupon yang belum pasti apa isinya demi mendapat 'hadiah utama'.

Positifnya, mereka lebih memilih proses dan tantangan serta kesenangan pribadi dalam membuka kupon-kupon itu daripada proses instan menggunakan uang. ()


Minggu, 11 Januari 2015

Medan Masih Direndam Banjir

Banjir yang melanda kawasan Jalan Dr Mansyur Medan, Minggu (11/1). Foto|Ang

“Kak, foto Kak.. Ayo foto,” ujar sekelompok anak-anak sambil memasang gaya di tengah-tengah genangan banjir. Girang, mereka tertawa-tawa sambil kadang membantu pengendara yang kesusahan melewatkan kendaraannya di jalan yang dikepung banjir tersebut.

Banjir kembali mengepung kawasan Jalan Dr Mansyur Medan. Genangan air yang memenuhi badan jalan ini menyusul hujan yang mengguyur sejak Sabtu (10/1) malam.

Kawasan yang terkena banjir mulai dari Jalan STMK Simpang Terminal Futsal hingga simpang lampu merah Jalan Setia Budi. Sedangkan banjir yang terparah adalah di depan Rumah Makan Angkringan sebab bersebelahan dengan aliran Sungai Babura yang meluap.

Air setinggi betis orang dewasa ini menggenangi jalan dan juga mencapai teras-teras rumah makan yang ada di sekitarnya terutama di bagian jalan yang menuju arah Setia Budi. Sedangkan bagian jalan yang menuju Jamin Ginting terlihat tidak begitu terganggu.

Anak-anak di lokasi tersebut dengan senang hati membantu supir angkot, becak, gerobak bakpao dan mobil-mobil pribadi yang melintas. Mungkin di sisi lain, banjir merupakan hiburan bagi mereka yang kebetulan sedang libur sekolah.


“Masukin facebook ya kak,” teriak salahseorang dari mereka sambil berlari ke seberang jalan. ()