Alam merupakan
anugerah yang luar biasa dari Tuhan, dan tanpa bertanya lagi memang sudah
kewajiban kita untuk menjaganya. Alam adalah penyumbang terbesar dalam
kelangsungan hidup manusia sedang manusia adalah penyumbang terbesar dalam
kerusakannya. Manusia modern sepertinya kini tidak ingin lagi pusing memikirkan
solusi untuk itu.
Sifat
konsumerisme manusia yang tidak terbatas membuat rasa tanggung jawab untuk
memperbaiki kerusakan itu hilang begitu saja bahkan dianggap tidak pernah ada. Padahal
telah sekian banyak lembaga-lembaga yang bersuara lewat berbagai media untuk
menjeritkan pelestarian lingkungan, namun telinga-telinga itu seolah-olah tidak
mendengar apa-apa.
Fenomena dan
problematika pelestarian alam pun menjadi kian rumit setelah munculnya
lembaga-lembaga mengatasnamakan penggiat alam yang ternyata berprinsip lain. Prinsip
lain itu tak lain adalah proyek dan uang. Anda mungkin pernah mendengar atau
melihat di media kegiatan-kegiatan berbau pelestarian alam seperti penanaman sekian ribu pohon dan sejenisnya,
dana sudah mengucur untuk itu, nama sudah terpampang di media. Lalu apa
selanjutnya? Tidak ada!
Tidak ada gunanya
penanaman besar-besaran jika tidak ada follow up untuk selanjutnya. Siapa yang
peduli pohon yang sekian ribu itu hidup atau mati? Tidak ada, yang penting proyek
sudah jalan, dana sudah cair, TITIK. Itulah mind-set yang ada dibenak manusia
sekarang ini. Tidak heran jika LSM sekarang ini sudah di-cap menjadi bandit
proyek bertopeng idealisme.
Tidak ada bedanya dengan kelompok pencinta alam yang sudah
menjamur dikalangan kampus maupun masyarakat. Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam)
adalah Kelompok pencinta alam yang merupakan bagian kecil dari kelompok
penggiat alam selain LSM.
Kalau LSM mungkin sudah memiliki badan hukum yang resmi
sebagai lembaga independen, maka pencinta alam adalah organisasi yang masih
dipayungi oleh universitas atau fakultas masing-masing.
Mapala itu berisikan mahasiswa-mahasiswa yang memiliki
kesamaan hobi dan kesamaan tujuan untuk melestarikan alam dan lingkungan.
Mapala seharusnya adalah sosok mahasiswa yang bertujuan murni menyelamatkan
lingkungan dari kerusakan-kerusakan yang ada, yang tentunya disertai dengan
hobi bertualang dan berkegiatan di alam bebas. Namun seiring berjalannya waktu
tujuan pelestarian itu mulai memudar.
Sekarang ini Mapala lebih kepada orang yang suka naik
gunung, arung jeram, manjat-manjat dan lain-lain. Lalu kemana tujuan awal
pencinta alam tersebut? Bahkan kawan-kawan pencinta alam telah banyak dicap
menjadi sosok yang gampang nego, bandit proposal, dan idealis palsu. Kenapa? Karena mereka telah
mendisfungsikan tujuan utama dari pencinta alam tersebut.
Mind-setnya juga sudah dapat ditebak. Proyek dan Uang.
Pernahkan terpikir untuk melaksanakan kegiatan pelestarian lingkungan itu tanpa
memikirkan untung?
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa untuk melaksanakan
sebuah kegiatan pasti dibutuhkan dana cukup besar, dari itu memang wajar,
apalagi kalangan mahasiswa untuk melempar proposal kesana-kemari untuk
mengumpulkan dana.
Tapi jika sudah terpikir untuk mendapat untung yang nantinya
bisa dibagi-bagi ke kawan-kawan, ataupun ada maksud dan tujuan lain seperti
hanya supaya dana itu cair dari pemerintah atau pemodal atau dengan kata lain
bermain proyek. Sepertinya itu sudah tidak idealis lagi. Jadi dimanakah letak
idealisme itu sebenarnya? Bahkan di kalangan mahasiswa yang seharusnya sangat
idealis sekalipun ternyata proyek dan uang telah lebih mendominasi pola pikir.
Saya pikir orang yang merelakan tanahnya sekian hektar untuk
ditanami bakau sekitar pantai itulah yang idealis. Orang yang rela berhenti
membuka lahan dan membiarkan tanahnya ditanami pohon-pohon penyuplai oksigen,
itulah yang idealis.
Orang yang bisa tidak merubah kebun rambutan menjadi kebun
sawit, itulah yang idealis. Hanya segelintir dan langka. Mereka tidak perlu
nama, bahkan tidak terlalu menggilai keuntungan. Itulah yang disebut idealis.
Jika sudah begitu kita akan bertanya, jadi dimanakah peran
Diklatsar tiap Kelompok Pencinta Alam (KPA) itu? Bukankah pendidikan dan
latihan dasar itu seharusnya mengajarkan apa tujuan mereka mengikuti diklatsar,
dan mengapa. Apakah diklatsar hanya diisi dengan materi-materi kepecinta-alaman
tanpa mengikutsertakan dan memperdalam prinsip konservasi?
Bahkan ada selentingan terdengar bahwa konservasi adalah
materi yang tidak penting dan sekedar coa-coa. Apakah ternyata pencinta alam
itu tidak berlandaskan prinsip konservasi lagi? Kenapa materi yang begitu fundamental ternyata dianggap hanya bunga-bunga?
Ini salah satu
penyebab lahirnya generasi-generasi hedon yang tidak terarah itu. Mereka lahir
tanpa doktrin jiwa pencinta alam tersebut. Mungkin hanya jiwa petualang dan
solidaritas yang terpatri dalam hati mereka, sementara prinsip pencinta dan
pejuang alam yang sebenarnya tidak mereka kenal.
Jadi apa yang ingin saya sampaikan kepada KPA adalah stop
meng-kamuflase diklatsar menjadi mesin pencetak generasi hedon dengan
mengesampingkan prinsip konservasi tersebut. Dunia tidak butuh beribu petualang
yang bisa mendaki ratusan gunung dalam satu bulan.
Dunia tidak butuh orang-orang yang lihai berbicara di depan
umum tentang lingkungan berbalut maksud-maksud yang hina. Dunia hanya butuh
segelintir orang yang rela berjuang melestarikan alam dengan berbagai cara.
Dunia butuh orang-orang yang bisa sebentar saja berhenti memikirkan keuntungan
pribadi dan kelompok demi memperjuangkan kehidupan badak Sumatera atau Owa
Jawa!
Dunia butuh orang-orang yang rela sedikit saja menyisihkan
lahannya untuk dijadikan bank demplot pohon. Dunia hanya butuh orang-orang yang
berani maju dengan segala keterbatasan untuk memperbaiki kerusakan alam dari
hal-hal yang kecil. Dunia butuh pencinta alam yang bukan pencetak generasi
hedon.
Disadur dari blog lama karenchiputih.blogspot.com (20 Januari 2013)
The best online slots from RTG - DRMCD
BalasHapusPlay the best online slots by 김해 출장샵 RTG right now! We've got 10+ free 동두천 출장샵 slots from 부천 출장안마 RTG including Gonzo's Quest, Wild Reel, 진주 출장안마 Starburst, Wild West Gold, 서울특별 출장샵 and more.