Minggu, 14 Desember 2014

Perempuan dalam Belenggu Perbudakan

Wanita dalam belenggu kemiskinan. Ist


Sebagian yang beruntung mungkin memiliki majikan berupa “manusia”, tapi banyak dari mereka dimiliki oleh makhluk jelmaan zaman perbudakan. Jangankan gaji yang pantas, bisa menerima gaji saja sudah syukur.



Kasus penganiayaan terhadap pembantu rumahtangga (PRT) yang mengakibatkan hilangnya nyawa kini sedang santer jadi pemberitaan media massa. Salahsatu kasus yang lagi hangat-hangatnya yaitu kisah keluarga penyalur jasa tenaga kerja, Syamsul Anwar, yang menganiaya PRTnya hingga tewas.

Setelah ditetapkan menjadi tersangka bersama kelima anggota keluarga lainnya atas tuduhan penyiksaan dan pembunuhan terhadap beberapa orang PRT di rumahnya di Jalan Beo Medan, saat ini polosi masih mendalami kasus tersebut.

Kabarnya, para korban kebringasan keluarga itu dikubur di sekitar rumah tersangka. Kemudian, ada juga yang dibuang ke jurang dan ke sungai. Para tersangka kini sedang bersiap masuk kursi pesakitan.

Kasus ini bukan terjadi di Arab Saudi atau Malaysia, tapi di Medan, di Indonesia tanah air Beta. Siapa yang jadi korban? Perempuan.

Dan ini hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus penganiayaan PRT perempuan di tanah air. Tidakkah kita bertanya ada apa dengan kaum perempuan kita?

Pernah sekali, penulis berkesempatan berbincang dengan seorang aktivis wanita yang bergerak di bidang kesejahteraan perempuan, Suhartini namanya. Menurut dia, penyebabnya boleh jadi karena kultur di negara kita.

Dia bilang, masih banyak orang kita yang memandang PRT sebagai budak yang bisa diperlakukan seenaknya alias tidak manusiawi. Jika salah sedikit, bogem mentah dengan ringannya dilayangkan. Atau setidaknya berupa sundutan rokok di wajah.

”Jangan salah, masih banyak orang yang pikirannya mampet seperti itu,” kata dia.

Umumnya, yang menjadi korban adalah wanita. Entah itu diperkosa, disiksa bahkan ada yang tidak digaji. Memangnya mereka itu binatang? Kok sampai hati memperlakukan mereka seperti itu.

Sebagai kaum yang dikenal lemah, ditambah lagi minim pendidikan, memang sangat sulit bertahan hidup sebagai perempuan di kota besar seperti Kota Medan ini. Bila tak sudi jadi wanita tuna susila, PRT adalah pilihan tepat. Mungkin itu yang ada dalam benak mereka.

Lagi-lagi, faktor ekonomi yang jadi biang keladinya. Demi memenuhi kebutuhan perut yang sejengkal, perkerjaan apapun, asalkan halal katanya, dilakukan. Yang jadi buruh cuci lah, tukang bersih-bersih lah, sampai berakhir menjadi pelayan nafsu bejat sang majikan, atau kalau lagi sial, dihanyutkan ke sungai. Masyaallah...

PRT korban penyiksaan majikan di Medan. Ist


Perbudakan

Terkuaknya kasus penganiayaan oleh keluarga Syamsul ini, serasa memberi tamparan bagi kita. Bahwa ada banyak wanita diluar sana yang terjebak kemiskinan dan kebodohan, sehingga nyawa pun menjadi taruhannya.

Yang mengherankan, sekian banyak kasus kekerasan terhadap PRT, masih saja ada orang yang mau melakoni pekerjaan itu. Bahkan, tak jarang anak gadis seorang PRT ikut-ikutan menjadi PRT juga.

Ibarat diwariskan, profesi PRT pun seringkali menurun kepada anak-anaknya. Bahkan dalam beberapa kasus, dalam sebuah keluarga memang turun temurun melakoni pekerjaan sebagai pembantu.

Mereka juga tidak menyoal gaji. Yang penting bisa makan. Rendahnya syarat memperkerjakan PRT membuat para majikan memandang rendah kaum ini. Ibarat budak malah, bukan pekerja.

Pada dasarnya, pembantu berarti yang membantu, bukan orang yang melakukan pekerjaan utama. Tapi sekarang ini pembantu ibarat wanita robot bertangan delapan yang bisa mengerjakan apa saja dengan bayaran sangat murah. Mereka membersihkan rumah, mereka mencuci baju, memasak, belanja, mengurus anak, hingga mengurus suami.

Lebih dari itu, majikan yang memiliki pembantu di rumahnya seringkali kebablasan dengan menyuruh ini itu, menutup pintu, mengambilkan remote tv, mengambilkan sepatu, mengantar piring, bahkan disuruh bertingkah yang aneh untuk hiburan. Tidak manusiawi sama sekali.

Jangan pikir mereka dibayar pantas untuk itu. Sebagian yang beruntung mungkin memiliki majikan berupa “manusia”, tapi banyak dari mereka dimiliki oleh makhluk jelmaan zaman perbudakan. Jangankan gaji yang pantas, bisa menerima gaji saja sudah syukur.

Bahkan beberapa PRT yang pernah diwawancara mengaku hanya mendapat gaji Rp300 ribu per bulan dengan jam kerja 12 jam per hari. Kasus lain, dengan gaji Rp750 ribu mereka bekerja setiap hari mengerjakan pekerjaan rumahtangga mulai dari bersih-bersih, menjaga anak dan memasak.


The Power of Education

Bukannya kita mau bilang perkerjaan itu hina atau bagaimana, hanya saja, tidakkah mereka mau move on dari buruh menjadi pekerja mandiri? Zaman sekarang kan banyak pelatihan-pelatihan yang digalakkan baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) tertentu demi meningkatkan kesejahteraan kaum marginal.

Demikian juga disampaikan Suhartini kepada penulis, salahsatu langkah yang dapat ditempuh agar wanita-wanita kita yang berpendidikan rendah bisa bekerja secara mandiri yaitu melalui penyuluhan dan pelatihan keterampilan yang nantinya dapat mereka andalkan sebagai mata pencarian.

Selain itu, ilmu keterampilan atau kreativitas, apapun itu bentuknya, jika mampu diaplikasikan dengan baik maka bisa menjadi sumber pendapatan.

Siapa sangka industri kreatif tidak membutuhkan mereka? Mereka bisa bergabung membentuk suatu kelompok atau komunitas ibu-ibu pengrajin benda-benda pajangan yang terbuat dari daur ulang limbah. Yah, menjadi semacam usaha kecil menengah (UKM).

Dan kabar gembiranya, pemerintah punya segudang program yang memberikan bantuan pendanaan bagi para pelaku UKM. Jadi, jangan terpaku pada nasib. Sudahlah perempuan, tak sekolah pula, ya jadi pembantu lah. Jangan.

Inilah yang seringkali disangkal oleh para perempuan di tanah air. Bahwa pendidikan itu ribet, pendidikan itu membuang waktu, pendidikan itu tidak penting.

Penyangkalan terhadap the power of education ini menyebabkan leher para wanita tak pernah terlepas dari belenggu perbudakan. Mereka memilih mendekam dalam keterbatasan pengetahuan dan keterampilan seolah legowo menerima garis nasib dari Sang Pencipta.

Keterpurukan dan perlakuan semena-mena tidak akan terjadi jika Anda melek hukum, melek informasi, apa guna polisi, apa guna pengacara, apa guna LSM pendamping, apa guna anggota dewan, apa guna wartawan.

Sudah saatnya para wanita move on dari keadaan serba tergencet ini. Semakin lama persaingan di dunia kerja semakin ketat.

Ditengah kondisi ekonomi lemah dan tak punya pendidikan tinggi, meningkatkan kreativitas bisa menjadi jalan demi terciptanya hidup mandiri. Tanpa harus bertaruh nyawa menjadi PRT yang semakin hari semakin banyak yang mati. Ada banyak jalan untuk lepas dari belenggu ini. Ayo perempuan, bangkitlah! ( )

Minggu, 09 November 2014

Tarif Parkir Naik, Jangan Ditambah Premanisme

Wow, tarif parkir direncanakan naik. Kira-kira apa imbasnya ya? Selama ini, tarif parkir belum naik saja, kita sudah dikutip Rp2.000 sama abang-abang baju orange itu, konon lagi naik tarif.

Ya, persoalan parkir memang tidak ada habisnya dibahas. Ada saja hal-hal yang terpaksa diterima nalar demi memahami keganjilan dan "ketidakadilan" perparkiran di Kota Medan.

Di satu sisi kenaikan tarif parkir memang berguna untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD), tidak ada yang salah di poin yang itu. Masalahnya hingga saat ini sistem perparkiran belum beres. Jangankan yang ilegal. Yang ilegal saja masih bermasalah.

Dinas Perhubungan Kota Medan hingga saat ini belum bisa mendata keseluruhan titik parkir resmi dan memastikan tidak ada kecurangan di sana. Tidak ada tanda, tidak ada tarif tetap. Sementara di titik parkir ilegal, tukang parkir marak "memalak" pengguna kendaraan. Mulai dari tarif "seikhlasnya" hingga tarif pemaksaan.

Nah, ketika wacana kenaikan tarif parkir berhembus, segala kritik dan komentar meluncur menyerang Dishub, dikarenakan hingga saat ini tarif awal saja belum transparan dan perparkiran masih semrawut.

Sebagai info, Kabid Perparkiran Dishub Medan Ridho Siregar mengaku, pihaknya akan menerapkan tarif parkir tepi jalan yang baru sesuai dengan Perda nomor 7 tahun 2002 dan diperbaharui menjadi Perda nomor 10 tahun 2011.

Di mana pada Perda tersebut dijelaskan, lokasi parkir akan diklasifikasi dalam 2 kelas. Untuk kelas 1, ditetapkan Rp2 ribu khusus sepeda motor, dan Rp3 ribu rupiah untuk jenis mobil. Sementara kelas 2 Rp1000 untuk sepeda motor dan Rp2 ribu untuk mobil.

"Pada Perda tersebut dijelaskan bahwa, tarif parkir sepeda motor sebesar Rp300, sedangkan mobil sebesar Rp1000. Kedepannya akan berubah semuanya. Tak hanya plang tarif parkir, kami (Dishub Kota Medan-red) juga telah mempersiapkan karcis parkir edisi Perda yang baru dan sudah kita sosialisasikan kepada seluruh Juru Parkir yang terdata di Dishub," ungkapnya.

Lebih lanjut Ridho menjelaskan, yang dimaksud dengan lokasi kelas 1, adalah lokasi parkir yang memiliki aktivitas kendaraan bervolume tinggi. Misalnya, di jalan Ahmad Yani, jalan Brigjend Katamso, jalan Brigjend Zein Hamid, jalan Gatot Subroto, jalan Putri Hijau, jalan Yos Sudarso, jalan Sisingamaraja, jalan Prof.Yamin, jalan Asia dan lainnya.

Sementara, yang dimaksud dengan lokasi parkir kelas 2 adalah lokasi parkir yang tidak memiliki aktivitas  kendaraan yang tinggi. Misalnya di jalan Yose Rizal, jalan Bakaran Batu, jalan Bintang, jalan Mesjid, dan lainnya.

Namun, nama-nama jalan tersebut hanyalah sebagai contoh lokasi padat kendaraan di kota Medan saja. Untuk ke absahan atas Perda baru ini, lokasi parkir kelas 1 dan kelas 2 masih diestimasi di bagian Hukum Pemko Medan.

"Kalau kelas 1 itu yang padat kendaraan, kalau kelas 2 yang gak terlalu padat kendaraan yang lewat di lokasi itu. Tapi pengklasifikasian ini gak bersifat permanen. Tergantung pada aturan rambu-rambu lalu lintasnya. Kalau ada pengalihan rambu dari yang lokasi kelas 2 menjadi kelas 1, ya berubah lagi. Otomatis lokasi kelas 2 jadi padat kendaraan kan," pungkasnya. 

Nah, masyarakat Kota Medan tidak akan keberatan dengan kenaikan tarif parkir jika, Dishub bisa menghandle para Jukir yang berlagak seperti preman. DAri itu perlu plank daftar tarif parkir dan tanda tempat parkir resmi serta himbauan "jangan bayar parki kepada orang tak jelas" atau semacamnya. Sehingga terlihat transparansi di perparkiran Kota Medan ini. (angel/sebagian dikutip dari Harian Orbit)

Kamis, 18 September 2014

Membabat Zona Hijau versi Kota Medan

Pinggir Sungai


Kebun Binatang, Edukasi Konservasi?

Kerangkeng. Berkunjung ke kebun binatang seharusnya akan memperoleh kesenangan dan hiburan. Namun jika melihat satwa dalam foto ini, apakah kita masih bisa membawa oleh-oleh berupa cerita menyenangkan.

Rasanya tidak. Hewan ini bukan hewan rumahan. Ia adalah jenis primata yang hidup diantara pepohonan. Tapi peduli amat, yang penting koleksi kebun binatang bertambah dan makin banyak hewannya.

Orangutan ini adalah salahsatu koleksi Kebun Binatang Medan atau Medan Zoo. Keberadaan kebun binatang ini tentunya dapat memberikan referensi tambahan tempat hiburan warga Medan.

Beberapa pemerhati hewan mengecam dan mengkritisi pengelolaan kebun binatang yang dianggap tidak memperhatikan kesejahteraan hewan di dalamnya.

Seperti orangutan dengan kerangkengnya, burung yang juga dalam sangkar, harimau kurus. Dan teranyar, pemerhati kura-kura jug angkat bicara soal ketidaklayakan kandang yang samasekali tidak menunjang kehidupan satwa.

"Kura-kura bukan tinggal di kolam dan kandang dengan lantai semen. Kandang kura-kura tidak perlu cantik dan mahal, cukup lantainya tanah saja. Sebab itu menyerupai habitat aslinya," terangnya suatu ketika.

Alhasil, publik mulai melontarkan pertanyaan atas fungsi kebun binatang. Bukan hanya Medan Zoo, tapi juga kebun binatang lain. Apakah kebun binatang bertujuan edukasi dan konservasi, atau sekedar pajangan layaknya pasar hewan. Di mana hewan-hewan tersebut dipajang untuk dilihat-lihat.

Dan masih tugas Pemko Medan untuk merubah konsep kebun binatang ke depannya, agar tujuan yang diniatkan itu kesampaian. Yaitu kebun binatang dengan tujuan edukasi dan konservasi.



Orangutan di Medan Zoo

Parkir Saja di Hatiku, Gratiss!!





Parkir adalah kebutuhan bagi Kota Besar. Khusus di Medan, aturan mengenai perparkiran masih sering diperdebatkan.

Belum adanya tanda bagi tempat parkir yang legal membuat para jukir dengan bebas mengutip uang parkir di mana saja. Yang jelas, di mana ada keramaian, di situ ada jukir.

Para jukir yang hampir selalu bertampang angkerpun berhasil menguras barang seribu atau dua ribu dari pengguna kendaraan bermotor.

"Jika menemukan jukir liar, bawa saja ke polisi," kata Kepala Dinas Perhubungan Kota Medan, Renward Parapat beberapa waktu silam.

Artinya, silakan Anda bayar saja daripada ribut-ribut. Tidak terbayang bagaimana menyeret-nyeret jukir ke kantor polisi karna mengutip dua ribu perak.

Orang Medan itu cinta damai dan tak mau berurusan panjang hingga ke polisi gara2 uang seperak. Dan saya yakin pak kadis tahu persis hal itu.

Berbicara mengenai ketertiban parkir, hal itu sangat jauh dari harapan. Marka jalan dan rambu lalu lintas tak begitu berarti untuk diperhatikan.

Hanya mirip dengan iklan sirup di pinggir jalan yang cukup dilihat, dibaca dan ditinggalkan. Buktinya, beberapa tanda larangan parkir tak digubris oleh sederet taksi biru yang nangkring di badan trotoar ini.

Rabu, 17 September 2014

Bisnis Kreatif Boneka Kain Flanel San&I Doll




Hanya perlu kreatifitas untuk menjadikannya karya yang menarik. Sedikit sentuhan kesabaran akan menambah nilai seni pada hasil akhirnya. Dan yang terpenting adalah dapat dijadikan sebagai lahan bisnis yang cukup menjanjikan.

Seperti yang sedang dirintis seorang gadis lulusan Teknik Arsitektur USU ini. Putri, begitu ia akrab disapa, sudah lebih dari tiga tahun belakangan memanfaatkan kain flanel sebagai bahan pembuat boneka.

"Mulainya sudah sejak tiga tahun lalu, tapi hanya boneka-boneka wisuda saja dan hanya dijual saat momen wisuda. Mulai online dan banyak kreasinya baru setahun belakangan," akunya.

Gadis yang kini berprofesi sebagai drafter ini awalnya membeli boneka flanel untuk dihadiahkan kepada adiknya sebagai kado wisuda. Namun, kata dia, boneka yang ia beli itu menurutnya kurang menarik. Kemudian ia membongkarnya dan mencoba membuat ulang.

"Ternyata hasilnya lebih bagus daripada boneka yang saya beli itu. Dari situlah ide untuk membuat dan menjual boneka ini lahir," tuturnya.

Dikatakan Putri, boneka-boneka flanel yang ia buat biasanya dijadikan sebagai souvenir, seperti kado ulangtahun, wisuda dan pernikahan. Tema bonekanya pun bisa disesuaikan dengan keinginan si pemesan.

"Sekarang kan lagi musim wisuda, jadi saya sedang fokuskan membuat boneka dengan tema wisuda. Bonekanya didekor mirip dengan orang yang diwisuda, lengkap dengan topi dan toganya. Boneka ini lagi laris-larisnya lho," terangnya.

Selain itu, kata dia, ada juga boneka flanel dengan tema wedding yang berpakaian daerah dan internasional. Biasanya itu dipesan orang sebagai kado pernikahan. Kemudian tema ulangtahun dan yang sedang tren saat ini adalah boneka berhijab.

"Kita selalu mencoba membuat boneka dengan tema yang disesuaikan dengan apa yang sedang tren. Berhubung sekarang lagi tren berhijab, jadi kita coba aplikasikan ke boneka yang berjilbab," ungkap gadis yang bermukim di Jalan Binjai KM 10 Kampung Lalang Medan ini.

Kemudian Putri juga membuat boneka karakter, seperti boneka chef dan dokter. Namun bila ada pemesan yang meminta dibuatkan boneka dengan karakter tokoh kartun, ia dengan senang hati akan mencoba membuatnya.

Diakui dia, peminat boneka flanel karnyanya ini cukup banyak, baik di dalam maupun di luar Kota Medan. Karena dipasarkan secara online, pasarannya bahkan sudah merambah ke Pulau Jawa.

Sementara untuk harga, dia mengatakan boneka-boneka flanel buatannya ini cukup terjangkau. Mulai dari Rp35 ribu hingga Rp200 ribu bergantung tingkat kerumitan tema yang dipesan dan ukurannya.

"Untuk boneka seperti boneka wisuda atau ulangtahun, kan ada ukurannya. Yang terkecil kita hargai Rp35 ribu, sedang Rp50 ribu dan besar Rp100 ribu. Sementara yang couple, biasanya boneka wedding, Rp200 ribu," paparnya.

Selain boneka, Putri juga membuat gantungan kunci dan magnet kulkas yang juga berbahan dasar kain flanel dan masing-masing item dihargai Rp10 ribu per buah.

Jika berminat dan ingin memesan, Putri bisa dikontak melalui facebook www.facebook.com/sannifelt, twitter @sanni_twit, blog www.sannidol.blogspot.com, LINE sannifelt dan BBM 7E9906C1 atau via telepon. ()

Dahsyatnya Lagu Nia Daniyati





Nama Nia Daniyati pasti tidak asing di telinga. Khususnya bagi yang gemar mengikuti kisah artis kontroversial Farhat Abbas.

Ya, janda Farhat Abbas ini memang terkenal dengan suaranya yg merdu melantunkan tembang cinta.

Lagu-lagu yang dibawakan Nia, meskipun lawas, ternyata masih digemari sejumlah orang termasuk supir angkot.

Nah, yang mau saya ceritakan adalah peristiwa kira-kira sebulan yang lalu. Saat itu saya berada di perjalanan menuju Dolok Masihul dengan Bus Netis.

Saya duduk di bangku belakang supir dekat dengan pintu masuk. Bus pun berjalan dengan kecepatan tinggi. Seorang wanita paruh baya yang berada di sebelah saya sudah daritadi melayang ke mimpinya. 

Lagu-lagu Simalungun milik sang sopir pun melantun membuat kernek bus manggut-manggut mengikut irama.

Kemudian sopir mengganti lagunya dengan album tembang lawas Nia Daniyati. Lagu demi lagu pun diperdengarkan kepada seluruh penumpang di dalam bus. Sang sopir pun terlihat ikut menyanyi pelan mengikuti lagu. 

Sedangkan sang kernek hanya diam. Mungkin dia tidak akrab dengan lagunya, maklum sang kernek sepertinya potongan remaja tanggung yang gemar musik-musik house.

Memasuki daerah Lubuk Pakam seorang wanita masuk dan duduk di bangku di hadapanku. 

Mulanya aku tak begitu memperhatikan. Tapi lama kelamaan kulihat ia menutup mulutnya dengan tangan. Air mata menetes ke pipinya. 

Awalnya kupikir dia mabuk darat atau menahan muntah. Tapi belakangan aku mengerti ia sedang menahan tangis sekuat tenaga. Terbukti, ia tersedak-sedak dan menutupi wajahnya.

Aku dan penumpang lain hanya bisa memandangi. Beberapa dari kami ingin menawarkan tissue namun mengurungkan niat. Takut dia tersinggung.

Lagu Nia Daniati masih melantun. Aku yakin semua kami mendengar lirik per lirik dengan seksama.

Begitu juga dengan wanita itu, ia tambah tersedu-sedu setiap kali Nia Daniati bercerita sedih lewat lagunya.

"Samakah aku dengan burung di sangkar yang dijual orang? Hingga kau perlakukan sesuka hatimu. Cintaku bukan anggur yang jika habis dapat kau tuang lagi," lantun Nia Daniati diikuti menganaksungainya airmata wanita tadi.

Wanita itu pun kalap, menangis sejadi-jadinya. Dan kami para penumpang hanya bisa menonton.

Salahsatu dari kami akhirnya menyodorkan tissue dan mengusap bahu wanita itu.

"Gak usah dipikirkan kali kak," ucap kakak itu sopan.

"Iya kak, makasih ya," jawab wanita itu tanpa mengurangi airmatanya.

"Lari dari rumah ya," ibu yang di sebelahku membuka calak percakapan untuk sebuah cerita misteri di balik tangisan wanita itu.

"Iya bu," jawabnya menahan ledakan tangis dari dadanya.

"Kenapa? Suami selingkuh?" tanya ibu itu lembut, berbeda sekali dgn tampangnya yang agak angker.

"Bukan," katanya.

"Jadi kenapa? Eh, bang supir, ganti dulu lagu abang itu, jadi nangis kakak ini abang buat," katanya disambut tawa seluruh penumpang. Wanita itu tersenyum ciut, melempar sedikit penghargaan atas hiburan yang kami berikan.

Dan ia membeberkan kejadian yang menimpanya kepada ibu di sebelahku layaknya curhat pada psikolog.

Ia mengatakan dirinya kabur dari rumah sebab tak tahan atas perlakuan suaminya yang ringan tangan dan tempramen.

Ia juga menyebutkan sederet pertengkaran mereka yang menghasilkan luka luar dalam bagi dirinya. Sebagai wanita yang tak lagi memiliki ayah, dia juga merasa lemah dan tak berdaya. Bahkan sang suami tak lagi hormat pada orangtuanya.

Ibu empat anak itu memutuskan lari dari rumah setelah perkelahian hebat dan tanpa sengaja ia melukai kepala suaminya dengan pompa sepeda.

Alhasil, suami mengancam akan melaporkan hal tersebut pada polisi. 

Ia pun mengakui, sejak memasuki bus kami hatinya sudah berkecamuk dan semua lirik lagu Nia Daniyati itu memang tepat menancap di hatinya sehingga ia tak kuasa menahan tangis.

Begitupun, saat ia tiba di tujuannya, ia sempat melempar senyum ke kami sebelum turun. Airmatanya hampir kering.()





Pesta Rakyat Pinggiran Sungai Deli

Rayakan Kemerdekaan dengan Basah-basahan

Pesta 17an yang biasanya diadakan di darat, kini diadakan di dalam sungai bersejarah Kota Medan, Sungai Deli. mencoba mengangkat profil dan hak layak hidup, masyarakat Kampung Aur dengan halus menggedor hati Pemerintah Kota Medan atas memprihatinkannya kehidupan mereka.

Tak hanya langganan banjir, masyarakat Kampung Aur juga kabarnya bakal direlokasi ke rumah susun yang disediakan Pemko Medan. Mereka, masyarakat pinggiran sungai yang terbiasa berkawan dengan banjir, bersahabat dengan bau amis sungai menolak relokasi tersebut.

"Sungai Deli adalah hidup kami. Bukan hanya membesarkan anak-anak, kami juga membesarkan budaya di sini," ujar salahseorang pemuda di Kampung Aur, Budi Bahariyong beberapa waktu silam.






Lomba panjat pinang di Sungai Deli pada Perayaan HUT RI 2014.

Lomba makan kerupuk dalam sungai turut memeriahkan pesta hari kemerdekaan RI di Kampung Aur.