Perempuan dalam Belenggu
Perbudakan
Wanita dalam belenggu kemiskinan. Ist |
Sebagian yang
beruntung mungkin memiliki majikan berupa “manusia”, tapi banyak dari mereka
dimiliki oleh makhluk jelmaan zaman perbudakan. Jangankan gaji yang pantas,
bisa menerima gaji saja sudah syukur.
Kasus penganiayaan terhadap pembantu rumahtangga (PRT) yang
mengakibatkan hilangnya nyawa kini sedang santer jadi pemberitaan media massa . Salahsatu kasus
yang lagi hangat-hangatnya yaitu kisah keluarga penyalur jasa tenaga kerja,
Syamsul Anwar, yang menganiaya PRTnya hingga tewas.
Setelah ditetapkan menjadi tersangka bersama kelima anggota
keluarga lainnya atas tuduhan penyiksaan dan pembunuhan terhadap beberapa orang
PRT di rumahnya di Jalan Beo Medan ,
saat ini polosi masih mendalami kasus tersebut.
Kabarnya, para korban kebringasan keluarga itu dikubur di
sekitar rumah tersangka. Kemudian, ada juga yang dibuang ke jurang dan ke
sungai. Para tersangka kini sedang bersiap
masuk kursi pesakitan.
Kasus ini bukan
terjadi di Arab Saudi atau Malaysia, tapi di Medan, di Indonesia tanah air
Beta. Siapa yang jadi korban? Perempuan.
Dan ini hanyalah
sebagian kecil dari kasus-kasus penganiayaan PRT perempuan di tanah air.
Tidakkah kita bertanya ada apa dengan kaum perempuan kita?
Pernah sekali,
penulis berkesempatan berbincang dengan seorang aktivis wanita yang bergerak di
bidang kesejahteraan perempuan, Suhartini namanya. Menurut dia, penyebabnya
boleh jadi karena kultur di negara kita.
Dia bilang, masih
banyak orang kita yang memandang PRT sebagai budak yang bisa diperlakukan
seenaknya alias tidak manusiawi. Jika salah sedikit, bogem mentah dengan
ringannya dilayangkan. Atau setidaknya berupa sundutan rokok di wajah.
”Jangan salah,
masih banyak orang yang pikirannya mampet seperti itu,” kata dia.
Umumnya, yang
menjadi korban adalah wanita. Entah itu diperkosa, disiksa bahkan ada yang
tidak digaji. Memangnya mereka itu binatang? Kok sampai hati memperlakukan
mereka seperti itu.
Sebagai kaum yang
dikenal lemah, ditambah lagi minim pendidikan, memang sangat sulit bertahan
hidup sebagai perempuan di kota besar seperti Kota Medan ini. Bila tak sudi
jadi wanita tuna susila, PRT adalah pilihan tepat. Mungkin itu yang ada dalam
benak mereka.
Lagi-lagi, faktor
ekonomi yang jadi biang keladinya. Demi memenuhi kebutuhan perut yang
sejengkal, perkerjaan apapun, asalkan halal katanya, dilakukan. Yang jadi buruh
cuci lah, tukang bersih-bersih lah, sampai berakhir menjadi pelayan nafsu bejat
sang majikan, atau kalau lagi sial, dihanyutkan ke sungai. Masyaallah...
PRT korban penyiksaan majikan di Medan. Ist |
Perbudakan
Terkuaknya kasus
penganiayaan oleh keluarga Syamsul ini, serasa memberi tamparan bagi kita.
Bahwa ada banyak wanita diluar sana yang terjebak kemiskinan dan kebodohan,
sehingga nyawa pun menjadi taruhannya.
Yang
mengherankan, sekian banyak kasus kekerasan terhadap PRT, masih saja ada orang
yang mau melakoni pekerjaan itu. Bahkan, tak jarang anak gadis seorang
PRT ikut-ikutan menjadi PRT juga.
Ibarat
diwariskan, profesi PRT pun seringkali menurun kepada anak-anaknya. Bahkan
dalam beberapa kasus, dalam sebuah keluarga memang turun temurun melakoni
pekerjaan sebagai pembantu.
Mereka juga tidak menyoal gaji. Yang penting bisa makan.
Rendahnya syarat memperkerjakan PRT membuat para majikan memandang rendah kaum
ini. Ibarat budak malah, bukan pekerja.
Pada dasarnya, pembantu berarti yang membantu, bukan orang
yang melakukan pekerjaan utama. Tapi sekarang ini pembantu ibarat wanita robot
bertangan delapan yang bisa mengerjakan apa saja dengan bayaran sangat murah.
Mereka membersihkan rumah, mereka mencuci baju, memasak, belanja, mengurus
anak, hingga mengurus suami.
Lebih dari itu, majikan yang memiliki pembantu di rumahnya
seringkali kebablasan dengan menyuruh ini itu, menutup pintu, mengambilkan remote
tv, mengambilkan sepatu, mengantar piring, bahkan disuruh bertingkah yang aneh
untuk hiburan. Tidak manusiawi sama sekali.
Jangan pikir mereka dibayar pantas untuk itu. Sebagian yang
beruntung mungkin memiliki majikan berupa “manusia”, tapi banyak dari mereka
dimiliki oleh makhluk jelmaan zaman perbudakan. Jangankan gaji yang pantas,
bisa menerima gaji saja sudah syukur.
Bahkan beberapa PRT yang pernah diwawancara mengaku hanya
mendapat gaji Rp300 ribu per bulan dengan jam kerja 12 jam per hari. Kasus
lain, dengan gaji Rp750 ribu mereka bekerja setiap hari mengerjakan pekerjaan
rumahtangga mulai dari bersih-bersih, menjaga anak dan memasak.
The Power of
Education
Bukannya kita mau bilang perkerjaan itu hina atau bagaimana,
hanya saja, tidakkah mereka mau move on dari buruh menjadi pekerja mandiri?
Zaman sekarang kan
banyak pelatihan-pelatihan yang digalakkan baik oleh pemerintah maupun lembaga
swadaya masyarakat (LSM) tertentu demi meningkatkan kesejahteraan kaum
marginal.
Demikian juga disampaikan Suhartini kepada penulis,
salahsatu langkah yang dapat ditempuh agar wanita-wanita kita yang
berpendidikan rendah bisa bekerja secara mandiri yaitu melalui penyuluhan dan
pelatihan keterampilan yang nantinya dapat mereka andalkan sebagai mata
pencarian.
Selain itu, ilmu keterampilan atau kreativitas, apapun itu
bentuknya, jika mampu diaplikasikan dengan baik maka bisa menjadi sumber
pendapatan.
Siapa sangka industri kreatif tidak membutuhkan mereka?
Mereka bisa bergabung membentuk suatu kelompok atau komunitas ibu-ibu pengrajin
benda-benda pajangan yang terbuat dari daur ulang limbah. Yah, menjadi semacam
usaha kecil menengah (UKM).
Dan kabar gembiranya, pemerintah punya segudang program yang
memberikan bantuan pendanaan bagi para pelaku UKM. Jadi, jangan terpaku pada
nasib. Sudahlah perempuan, tak sekolah pula, ya jadi pembantu lah. Jangan.
Inilah yang
seringkali disangkal oleh para perempuan di tanah air. Bahwa pendidikan
itu ribet, pendidikan itu membuang waktu, pendidikan itu tidak penting.
Penyangkalan terhadap the power of education ini menyebabkan
leher para wanita tak pernah terlepas dari belenggu perbudakan. Mereka memilih
mendekam dalam keterbatasan pengetahuan dan keterampilan seolah legowo menerima
garis nasib dari Sang Pencipta.
Keterpurukan dan perlakuan semena-mena tidak akan terjadi
jika Anda melek hukum, melek informasi, apa guna polisi, apa guna pengacara,
apa guna LSM pendamping, apa guna anggota dewan, apa guna wartawan.
Sudah saatnya para wanita move on dari keadaan serba tergencet
ini. Semakin lama persaingan di dunia kerja semakin ketat.