Sejumlah mobil yang terparkir tepat di samping tanda larangan. Lokasi: Depan Kantor Walikota Medan. Foto | Ang |
Persoalan parkir selalu disandingkan dengan kemacatan lalulintas. Bagaimana tidak, budaya masyarakat yang suka mengabaikan peraturan, larangan dan hukuman sudah melekat erat bak daki yang hampir berkerak.
Di Kota Medan sendiri, persoalan parkir masih terus menjadi
sorotan elemen masyarakat seperti tarif parkir yang tidak menentu dan cenderung
bergantung pada mood sang jukir.
Jika bertemu jukir yang garang kita dipaksa membayar Rp2.000
rupiah meskipun bukan parkir di tepi jalan kelas I. Alasan mereka, setoran
naik. Ketika dimintai karcis, mereka pun bilang sudah habis.
Selain soal tarif parkir, yang juga disoroti adalah
ketertiban berparkir ria di tepi jalan. Tapi jelas saja ini juga diabaikan. Lihat
saja sekolah-sekolah bonafit seperti Shafiyyatul Amaliyah yang muridnya
kebanyakan dari kaum berada membawa mobil dan parkir di badan jalan. Terang saja
ini mengakibatkan macat, menyumbat aliran lalulintas yang memang sudah padat
sebab tak jauh dari situ juga ada pasar tradisional.
Selain itu, tempat-tempat makan yang terkenal dan sering
didatangi para pengunjung yang juga berasal dari kaum berada seperti Mie Aceh
Titi Bobrok, yang parkirnya memakan setengah badan jalan. Bukan cuma itu,
tukang parkir yang ada di sana
juga sering berseliweran tiba-tiba untuk mengejar uang parkir tanpa
menghiraukan kendaraan yang sedang melintas. (Ketabrak sih enggak, tapi bikin
geregetan aja).
Pertanyaannya, apa pelanggaran seperti ini dilegalkan di
Kota Medan, sehingga pengusaha tak perlu repot memikirkan perparkiran di depan
lapak mereka. Atau memang mereka sudah tahu sama tempe dengan petugas yang dalam hal ini Dinas
Perhubungan Kota Medan.
Sebab, kadang-kadang di lokasi pelanggaran memang terlihat
sosok penampakan pria-pria berbaju abu-abu Dishub.
Lantas, apa yang dilakukan Dishub dan Kepolisian selama ini
selaku eksekutor terhadap pelanggar aturan lalulintas. Apa yang dilakukan
Dishub untuk menertibkan mobil-mobil yang parkir di badan jalan? Pernah
digembok? Pernah dikempesi bannya? Pernah diangkut mobilnya? Atau hanya dilihat
dan ditegur dengan nasehat-nasehat suci saja? (Ang)